PEMBAHASAN
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai pendidikan tertentu. Adapun pengertian landasan, menurut
Hornby c. s. dalam “The anvance leaner’s dictionaru of current English” mengemukakan
definisi landasan sebagai berikut :“faoudation …. that on which an idea or
belief rest an underlying principle’s as the foundations of religious belie the
basis or starting point…”. Jadi menurut Hornby, landasan adalah
suatu gagasan atau kepercayaan yang menjadi sandaran, suatu prinsip yang
mendasari sesuatu.
Kurikulum menjadi inti dari
bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan.
Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang memiliki kedudukan cukup sentral
dalam perkembangan pendidikan, oleh sebab itu dibutuhkan landasan yang kuat
dalam pengembangan kurikulum agar pendidikan dapat menghasilkan manusia-manusia
yang berkualitas.
Penggunaan landasan yang tepat dalam
mengembangkan kurikulum tidak hanya diperlukan oleh penyusun kurikulum di
tingkat pusat, akan tetapi terutama harus dipahami dan dijadikan dasar
pertimbangan oleh pengembang kurikulum di tingkat satuan pendidikan, yaitu para
guru, kepala sekolah, pengawas pendidikan dewan sekolah atau komite pendidikan
serta pihak lainnya yang terkait.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997)
mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1)
filosofis; (2) psikologis; (3) sosiologis; dan (4) ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Filosofis
artinya berdasarkan filsafat. Sedangkan Filsafat itu sendiri berasal dari
bahasa yunani, yaitu dari kata “philos“
dan “sophia“. Philos, artinya
cinta yang mendalam, dan sophia adalah kearifan atau kebijaksanaan.
Dengan demikian, filsafat secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta yang
mendalam akan kearifan. Filsafat sangat penting karena harus dipertimbangkan
dalam mengambil keputusan tentang aspek kurikulum. Untuk itu tiap keputusan
harus ada dasarnya. Jadi filsafat adalah cara berfikir yang sedalam-dalamnya,
yakni sampai akar-akarnya tentang hakikat sesuatu. Para pengembang kurikulum
harus mempunyai landasan filosofis yang jelas tentang apa yang mereka junjung
tinggi.
Salah satu perumusan tentang falsafah
pendidikan dikemukakan oleh Romine sebagai berikut: “…
An educational philosophy is one believes and purpose to do. It
suggests a faith in some ideals or values, plus appropriate course of action,
it is appropriate to philosophy”.
Perumusan
ini mengandung pengertian bahwa falsafah pendidikan menyatakan sesuatu yang
sangat penting karena mengandung keyakinan yang berupa serangkaian cita-cita
dan nilai-nilai yang sangat baik menurut pandangan masyarakat. Di samping itu
suatu falsafah pendidikan memberi petunjuk cara berbuat atau bertingkah laku
yang baik dalam masyarakat. Selain itu, falsafah pendidikan juga merupakan
semacam guiding principles bagi
setiap orang, dalam hal ini memberi petunjuk dalam proses operasional untuk
mencapai cita-cita tersebut.
Filsafat
memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Pada hakikatnya kurikulum
dibuat untuk mencapai tujuan pendidikan. Menurut Becher dan Maclure dalam
perkembangan kurikulum terdapat enam dimensi pendekatan nasional, yaitu: 1) Kerangka tujuan yang jelas tentang
hubungan antara tujuan pendidikan nasional dan program pendidikan. 2) Hubungan antara pengembangan kurikulum
pendidikan nasional dengan reformasi sosial politik Negara. 3) Mekanisme pengawasan dari kebijakan
kurikulum yang ditempuh. 4) Mekanisme
pengawasan dari pengembangan dan aplikasi kurikulum di sekolah. 5) Metode menuju pembangunan kurikulum
yang disesuaikan dengan kebutuhan. 6) Penelaahan
derajat desentralisasi dari implikasi kurikulum sekolah.
Dalam
falsafah pendidikan, pada umumnya terdapat empat aliran falsafah, yaitu
rekonstruksisme, perenialisme, esensialisme dan progresivisme.
1. Rekonstruksisme
Berdasarkan
filsafat Dewey, rekonstruksisme mengikuti sebuah alur yang meyakini dan
mengemukakan bahwa keberadaan sekolah adalah untuk adanya perbaikan dalam
masyarakat. George S. Counts, dalam bukunya “Dare the School Build a New Social Order?” menantang para pendidik
untuk kembali mempertimbangkan peran sekolah dalam masyarakat. Premis utama
dari filsafat ini adalah untuk menjadikan sekolah sebagai agen utama dalam
perubahan sosial.
2. Perenialisme
Perenialisme
lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari
warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Perenialisme sekuler mendukung
kurikulum sebuah akademi dengan tata bahasa, kepandaian berbicara, logika,
bahasa lama dan baru, matematika, dan peradaban dunia. Menurut Robert M.
Hutchins, perenialisme diajukan dari kebutuhan-kebutuhan sekarang siswa, spesifikasi
pendidikan, dan latihan kejuruan. Dia member penekanan ini ketika ia menyatakan
bahwa pendidikan yang disempurnakan untuk kebutuhan yang mendesak, bukanlah
sebuah pendidikan yang bermanfaat. Pendidikan ideal adalah sebuah pendidikan
yang ikut memperhatikan pengembangan pikiran. Secara garis besar, perenialisme
tidak dapat membuktikan sebuah filsafat yang menarik untuk sistem pendidikan.
3. Esensialisme
Menurut
esensialis, pendidikan bertujuan untuk
menyebarkan budaya. Apabila rekonstruksionis hendak mengubah masyarakat secara
aktif, sebaliknya esensialis menghindari hal tersebut. Esensialisme menekankan
pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada
peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Dalam falsafah
ini terdapat prinsip behavioristik, yaitu esensialitas menemukan dasar-dasar
tingkah laku yang selaras dengan keyakinan filosofis. Kemampuan dasar menjadi
prioritas bagi esensialis. Begitu pula halnya dengan berbagai program
pendidikan dan latihan, yang menjadi titik orientasi esensialis.
4. Progresivisme
Progresivisme
menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta
didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan
bagi pengembangan belajar peserta didik aktif. Para progresivis mendorong
sekolah agar menyediakan pelajaran bagi setiap individu yang berbeda, baik
dalam mental, fisik, emosi, spiritual, dan perbedaan sosial.
Manfaat
penggunaan filsafat dalam mengembangkan kurikulum antara lain:
1. Memberikan arah yang jelas terhadap tujuan pendidikan
2. Dapat memberikan gambaran yang jelas hasil yang ingin di capai
3. Memberikan arah terhadap proses yang dilakukan untuk mencapai
tujuan
4. Memungkinkan dapat mengukur hasil yang dicapai
5.
Memberikan motivasi yang kuat
untuk melakukan aktivitas
Kurikulum
sebagai alat mencapai tujuan atau program pendidikan, sudah pasti berhubungan
dengan perubahan perilaku peserta didik. Dengan adanya kurikulum diharapkan
dapat membentuk tingkah laku baru berupa kemampuan atau kompetensi aktual
maupun potensial dari peserta didik, serta kemampuan-kemampuan baru yang
dimiliki dalam waktu yang relatif lama.
Dengan
mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemuk akan pengertian
kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang
yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau
penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“. Selanjutnya,
dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu: motif, bawaan, konsep diri,
pengetahuan, keterampilan.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam
hubungan dengan lingkungan, sedangkan kurikulum adalah upaya menentukan program
pendidikan untuk merubah perilaku manusia. Oleh sebab itu dalam mengembangkan
kurikulum harus dilandasi oleh psikologi sebagai acuan dalam menentukan apa dan
bagaimana perilaku peserta didik itu harus dikembangkan.
Nana
Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang
psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu:
(1)
psikologi perkembangan
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang
mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam
psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan
perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu,
serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan perkembangan individu, yang
semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan
kurikulum. Psikologi perkembangan diperlukan terutama dlam menentukan isi
kurikulum yang di berikan kepada siswa, baik tingkat kedalaman dan keluasan
materi, tingkat kesulitan dan kelayakannya serta kebermanfaatan materi
senantiasa disesuaikan dengan taraf perkembangan peserta didik.
(2)
psikologi belajar
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang
perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang
hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu
lainnya dalam belajar yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi
atau teori belajar yang berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam
tiga rumpun, yaitu:
a.
Teori Daya (Disiplin Mental)
Pengertian belajar menurut teori ini adalah
melatih peserta didiknya dalam daya-daya itu, cara mempelajarinya pada umumnya
melalui hapalan dan latihan.
b.
Teori Behaviorisme
Belajar pada dasarnya merupakan hubungan
antara stimulus-respon. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan
stimulus-respon. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan
stimulus-respon sebanyak-banyaknya.
c.
Teori Organismik atau Gestalt
Teori ini mengacu kepada pengertian bahwa keseluruhan
lebih bermakna dari pada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari
bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai mahluk organisme yang melakukan
hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini
dijalin oleh stimulus dan respon.
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki berbagai gejala sosial hubungan antar individu, antar golongan,
antar lembaga sosial atau masyarakat. Di dalam kehidupan kita tidak hidup
sendiri, namun hidup dalam suatu masyarakat. Dalam lingkungan itulah kita
memiliki tugas yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sebagai
bakti kepada masyarakat yang telah memberikan jasanya kepada kita.
Emile Durkheim merupakan salah seorang tokoh
sosiologi dari Perancis sekaligus orang pertama yang menganjurkan agar dalam
mempelajari pendidikan digunakan pendekatan sosiologi. Menurutnya, pendidikan
adalah suatu fakta sosial, karenanya menjadi objek studi sosiologi.
Fakta sosial itu mempunyai tiga ciri utama,
yaitu:
a. Ia berada di luar individu, tidak seperti psikologi
yng berada di dalam individu. Misalnya, bahasa, agama dan adat istiadat.
b. Memiliki daya paksa terhadap individu untuk
melaksanakan dan menaatinya.
c. Fakta sosial itu tersebar di kalangan warga
masyarakat, menjadi milik masyarakat.
Pada
dasarnya, masyarakat adalah sebuah sistem yang memiliki tiga subsistem, yaitu:
1. Subsistem budaya
Sistem budaya berisi nilai-nilai, norma, pengetahuan dan kepercayaan atau
keyakinan hidup yang dianut bersama.
2. Subsistem sosial
Dalam sistem sosial terdapat struktur peran, yaitu perilaku yang diharapkan
akan dilakukan seseorang sesuai dengan status sosialnya.
3. Subsistem kepribadian
Dalam sistem kepribadian, individu memiliki keperluan atau kebutuhan yang
lahir atau dibentuk pada saat berlangsungnya proses sosialisasi bagi dirinya.
Kehidupan
masyarakat sebagai sebuah sistem terdiri atas berbagai pranata sosial.
Pendidikan sebagai pranata sosial dan kurikulum sebagai alatnya harus dapat
dikembangkan dan disesuaikan dengan berbagai kehidupan masyarakat. Banyak hasil
penelitian yang menunjukkan terdapat korelasi yang positif dan signifikan
antara tingkat pendidikan dengan kehidupan ekonomi.
Implikasi
kemasyarakatan dalam pengembangan kurikulum antara lain, yaitu:
1. Sekolah adalah suatu institusi sosial yang
didirikan dan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu,
kurikulum sebaiknya mempertimbangkan segi sosiologis ini, baik dalam
perencanaan, pelaksanaan, maupun perbaikan kurikulum.
2. Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang
meliputi berbagai komponen, yakni subsistem kepercayaan, nila-nilai, kebutuhan,
dan permintaan. Masing-masing komponen atau subsistem tersebut berpengaruh
terhadap penyusunan dan pengembangan kurikulum, sehingga relevan dengan kondisi
sosiologis masyarakat.
Di dalam
masyarakat terdapat beragam lembaga sosial yang masing-masing memiliki
kekuatan, baik kekuatan potensial, strategis, dan riil. Semua kekuatan tersebut
memberi pengaruh dan patut dipertimbangkan dalam pembinaan dan pengembangan
kurikulum, sehingga kurikulum sejalan dengan sifat dinamis dalam masyarakat.
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan
mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus
berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin
berkembang Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya
merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Kemajuan cepat dunia dalam bidang
informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada
peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya.
Selain itu, dalam abad
pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui
belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan
keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih,
sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan
kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn)
dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang
ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.
Perkembangan dalam
bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), terutama dalam bidang
transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh
karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat
mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.
Perkembangan IPTEK, secara langsung menjadi isi atau materi pendidikan.
Sedangkan secara tidak langsung memberikan tugas kepada pendidikan untuk
membekali masyarakat dengan kemampuan pemecahan masalah-masalah pendidikan
sebagai pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Implikasi ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah pengembangan kurikulum harus dapat
meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berfikir peserta didik untuk lebih
banyak menghasilkan teknologi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan
karakteristik masyarakat Indonesia. Pengembangan kurikulum harus difokuskan
pada kemampuan peserta didik untuk mengenali dan merevitalisasi produk
teknologi yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. D. (2011). Konsep dan Model Pengembangan
Kurikulum. Bandung: Rosdakarya.
Hamalik, P. D. (2009). Dasar-dasar Pengembangan
Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Dipetik Maret 18, 2013,
dari http://blog.tp.ac.id/memahami-landasan-pengembangan-kurikulum
Dipetik Maret 18, 2013, dari
http://rhezavlova.blogspot.com/2012/05/pengertian-dan-landasan-kurikulum.html
Dipetik Maret 18, 2013,
dari
http://sadidadalila.wordpress.com/2010/11/30/pengertian-kurikulum-sistem-landasan-dan-prinsip-pengembangannya/