Sabtu, 22 Juni 2013

Pembelajaran Matematika dengan Pemecahan Masalah dalam KTSP SMA



PEMBAHASAN
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang SMA, yang menjadi salah satu fokus pembelajaran matematika adalah pemecahan masalah yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian.[1] Hal tersebut terlihat pada standar kompetensi KTSP SMA khususnya pembelajaran matematika terdapat banyak materi matematika yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah.
Pada KTSP jenjang SMA ini, siswa lebih dituntut agar mampu memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Melalui pemecahan masalah, memungkinkan siswa menjadi lebih analitik dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan. Dengan kata lain, bila seorang siswa dilatih untuk menyelesaikan masalah, maka siswa itu akan mampu mengambil keputusan sebab siswa itu menjadi mempunyai keterampulan tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis informasi dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya.
 Guru sebagai peran penting dalam pengembangan kurikulum, haruslah mampu mengajarkan matematika dengan pemecahan masalah. Mengajarkan siswa untuk mampu memecahkan masalah perlu perencanaan dan kehati-hatian. Apabila guru tidak berhati-hati dalam memilih soal, pemecahan masalah  diajarkan sebagai latihan untuk keterampilan belaka yang sebenarnya hanya mengulang proses. Jelaslah bahwa seorang guru mengetahui benar kapan suatu soal itu merupakan suatu masalah bagi seorang siswa.[2]
Traves menyatakan bahwa para peneliti menyarankan agar guru-guru sedikit mengurangi cara mengajar kepada siswa dengan memberikan hubungan antara unsur-unsur di dalam masalah, tetapi hendaknya lebih banyak membantu para siswa mengidentifikasi asumsi-asusmsi yang logik yang terdapat di dalam masalah itu. Selain itu, guru harus mempunyai bermacam-macam masalah yang cocok sehingga bermakna bagi siswanya. Pada suatu waktu, boleh juga siswa memilih sendiri masalah-masalah itu, mengerjakan masalah-masalah tersebut, membicarakannya dan kemudian menyajikan penyelesaiannya di depan kelas.
Berikut adalah beberapa contoh soal matematika berdasarkan pemecahan masalah standar kompetensi pada KTSP SMA:
1.    Selembar karton berbentuk persegi panjang akan dibuat kotak tanpa tutup dengan cara membuang persegi seluas 3 x 3 cm2 di masing-masing pojoknya. Panjang kotak 2 cm lebih dari lebarnya dan volum kotak itu adalah 105 cm3.
Tentukan model matematika dari permasalahan tersebut!

2.     Diketahui balok balok ABCD-EFGH, rusuknya AB = 30 cm, BC = 12 cm dan CG = 10 cm. Jika titik Kdi bidang BCGF, sama jauh dari titik F dan G dan berjarak 1 cm dari GF. Titik L di bidang ADHE, sama jauh dari titik A dan D dan berjarak 1 cm dari AD. Berapa jarak K ke L?
3.    Berapa banyak n-segmen garis paling banyak yang dapat ditarik untuk menghubungkan n titik yang terletak disebuah lingkaran?

4.    Sebuah segitiga ABC diketahui hubungan  a = 2b dan g = 2b. Hitunglah sudut-sudut segitiga tersebut!


5.    Luas daerah yang dibatasi oleh kurva y=x+2, sumbu X, garis x=2, dan garis x=a(a>2) adalah 10 satuan luas. Nilai a adalah....


[1] Di akses dari http://aditinputrian.wordpress.com/2013/05/06/telaah-kurikulum-matematika, pada 15 Juni 2013.
[2] Herman Hudojo, Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2005), hal. 139.

Senin, 08 April 2013

Landasan Kurikulum



PEMBAHASAN


Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai pendidikan tertentu. Adapun pengertian landasan, menurut Hornby c. s. dalam “The anvance leaner’s dictionaru of current English” mengemukakan definisi landasan sebagai berikut :“faoudation …. that on which an idea or belief rest an underlying principle’s as the foundations of religious belie the basis or starting point…”.  Jadi menurut Hornby, landasan adalah suatu gagasan atau kepercayaan yang menjadi sandaran, suatu prinsip yang mendasari sesuatu.
Kurikulum menjadi inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang memiliki kedudukan cukup sentral dalam perkembangan pendidikan, oleh sebab itu dibutuhkan landasan yang kuat dalam pengembangan kurikulum agar pendidikan dapat menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas.
Penggunaan landasan yang tepat dalam mengembangkan kurikulum tidak hanya diperlukan oleh penyusun kurikulum di tingkat pusat, akan tetapi terutama harus dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh pengembang kurikulum di tingkat satuan pendidikan, yaitu para guru, kepala sekolah, pengawas pendidikan dewan sekolah atau komite pendidikan serta pihak lainnya yang terkait.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosiologis; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi.

2.1. Landasan Filosofis

Filosofis artinya berdasarkan filsafat. Sedangkan Filsafat itu sendiri berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata “philos“ dan “sophia“. Philos, artinya cinta yang mendalam, dan sophia adalah kearifan atau kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Filsafat sangat penting karena harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan tentang aspek kurikulum. Untuk itu tiap keputusan harus ada dasarnya. Jadi filsafat adalah cara berfikir yang sedalam-dalamnya, yakni sampai akar-akarnya tentang hakikat sesuatu. Para pengembang kurikulum harus mempunyai landasan filosofis yang jelas tentang apa yang mereka junjung tinggi.
 Salah satu perumusan tentang falsafah pendidikan dikemukakan oleh Romine sebagai berikut: “…An educational philosophy is one believes and purpose to do. It suggests a faith in some ideals or values, plus appropriate course of action, it is appropriate to philosophy”.[1]
Perumusan ini mengandung pengertian bahwa falsafah pendidikan menyatakan sesuatu yang sangat penting karena mengandung keyakinan yang berupa serangkaian cita-cita dan nilai-nilai yang sangat baik menurut pandangan masyarakat. Di samping itu suatu falsafah pendidikan memberi petunjuk cara berbuat atau bertingkah laku yang baik dalam masyarakat. Selain itu, falsafah pendidikan juga merupakan semacam guiding principles bagi setiap orang, dalam hal ini memberi petunjuk dalam proses operasional untuk mencapai cita-cita tersebut.
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Pada hakikatnya kurikulum dibuat untuk mencapai tujuan pendidikan. Menurut Becher dan Maclure dalam perkembangan kurikulum terdapat enam dimensi pendekatan nasional, yaitu: 1) Kerangka tujuan yang jelas tentang hubungan antara tujuan pendidikan nasional dan program pendidikan. 2) Hubungan antara pengembangan kurikulum pendidikan nasional dengan reformasi sosial politik Negara. 3) Mekanisme pengawasan dari kebijakan kurikulum yang ditempuh. 4) Mekanisme pengawasan dari pengembangan dan aplikasi kurikulum di sekolah. 5) Metode menuju pembangunan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan. 6) Penelaahan derajat desentralisasi dari implikasi kurikulum sekolah.
Dalam falsafah pendidikan, pada umumnya terdapat empat aliran falsafah, yaitu rekonstruksisme, perenialisme, esensialisme dan progresivisme.[2]
1.      Rekonstruksisme
Berdasarkan filsafat Dewey, rekonstruksisme mengikuti sebuah alur yang meyakini dan mengemukakan bahwa keberadaan sekolah adalah untuk adanya perbaikan dalam masyarakat. George S. Counts, dalam bukunya “Dare the School Build a New Social Order?” menantang para pendidik untuk kembali mempertimbangkan peran sekolah dalam masyarakat. Premis utama dari filsafat ini adalah untuk menjadikan sekolah sebagai agen utama dalam perubahan sosial.
2.      Perenialisme
Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Perenialisme sekuler mendukung kurikulum sebuah akademi dengan tata bahasa, kepandaian berbicara, logika, bahasa lama dan baru, matematika, dan peradaban dunia. Menurut Robert M. Hutchins, perenialisme diajukan dari kebutuhan-kebutuhan sekarang siswa, spesifikasi pendidikan, dan latihan kejuruan. Dia member penekanan ini ketika ia menyatakan bahwa pendidikan yang disempurnakan untuk kebutuhan yang mendesak, bukanlah sebuah pendidikan yang bermanfaat. Pendidikan ideal adalah sebuah pendidikan yang ikut memperhatikan pengembangan pikiran. Secara garis besar, perenialisme tidak dapat membuktikan sebuah filsafat yang menarik untuk sistem pendidikan.
3.      Esensialisme
Menurut esensialis, pendidikan  bertujuan untuk menyebarkan budaya. Apabila rekonstruksionis hendak mengubah masyarakat secara aktif, sebaliknya esensialis menghindari hal tersebut. Esensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Dalam falsafah ini terdapat prinsip behavioristik, yaitu esensialitas menemukan dasar-dasar tingkah laku yang selaras dengan keyakinan filosofis. Kemampuan dasar menjadi prioritas bagi esensialis. Begitu pula halnya dengan berbagai program pendidikan dan latihan, yang menjadi titik orientasi esensialis.
4.      Progresivisme
Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif. Para progresivis mendorong sekolah agar menyediakan pelajaran bagi setiap individu yang berbeda, baik dalam mental, fisik, emosi, spiritual, dan perbedaan sosial.
Manfaat penggunaan filsafat dalam mengembangkan kurikulum antara lain:
1.      Memberikan arah yang jelas terhadap tujuan pendidikan
2.      Dapat memberikan gambaran yang jelas hasil yang ingin di capai
3.      Memberikan arah terhadap proses yang dilakukan untuk mencapai tujuan
4.      Memungkinkan dapat mengukur hasil yang dicapai
5.      Memberikan motivasi yang kuat untuk melakukan aktivitas

2.2. Landasan Psikologis

Kurikulum sebagai alat mencapai tujuan atau program pendidikan, sudah pasti berhubungan dengan perubahan perilaku peserta didik. Dengan adanya kurikulum diharapkan dapat membentuk tingkah laku baru berupa kemampuan atau kompetensi aktual maupun potensial dari peserta didik, serta kemampuan-kemampuan baru yang dimiliki dalam waktu yang relatif lama.
Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemuk akan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“. Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu: motif, bawaan, konsep diri, pengetahuan, keterampilan.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungan, sedangkan kurikulum adalah upaya menentukan program pendidikan untuk merubah perilaku manusia. Oleh sebab itu dalam mengembangkan kurikulum harus dilandasi oleh psikologi sebagai acuan dalam menentukan apa dan bagaimana perilaku peserta didik itu harus dikembangkan.
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu:
(1)   psikologi perkembangan
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi perkembangan diperlukan terutama dlam menentukan isi kurikulum yang di berikan kepada siswa, baik tingkat kedalaman dan keluasan materi, tingkat kesulitan dan kelayakannya serta kebermanfaatan materi senantiasa disesuaikan dengan taraf perkembangan peserta didik.
(2)    psikologi belajar
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi atau teori belajar yang berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga rumpun, yaitu:[3]
a.       Teori Daya (Disiplin Mental)
Pengertian belajar menurut teori ini adalah melatih peserta didiknya dalam daya-daya itu, cara mempelajarinya pada umumnya melalui hapalan dan latihan.
b.      Teori Behaviorisme
Belajar pada dasarnya merupakan hubungan antara stimulus-respon. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon sebanyak-banyaknya.
c.       Teori Organismik atau Gestalt
Teori ini mengacu kepada pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna dari pada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai mahluk organisme yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon.

2.3. Landasan Sosiologis

Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki berbagai gejala sosial hubungan antar individu, antar golongan, antar lembaga sosial atau masyarakat. Di dalam kehidupan kita tidak hidup sendiri, namun hidup dalam suatu masyarakat. Dalam lingkungan itulah kita memiliki tugas yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sebagai bakti kepada masyarakat yang telah memberikan jasanya kepada kita.
Emile Durkheim merupakan salah seorang tokoh sosiologi dari Perancis sekaligus orang pertama yang menganjurkan agar dalam mempelajari pendidikan digunakan pendekatan sosiologi. Menurutnya, pendidikan adalah suatu fakta sosial, karenanya menjadi objek studi sosiologi.[4]
Fakta sosial itu mempunyai tiga ciri utama, yaitu:
a.       Ia berada di luar individu, tidak seperti psikologi yng berada di dalam individu. Misalnya, bahasa, agama dan adat istiadat.
b.      Memiliki daya paksa terhadap individu untuk melaksanakan dan menaatinya.
c.       Fakta sosial itu tersebar di kalangan warga masyarakat, menjadi milik masyarakat.
Pada dasarnya, masyarakat adalah sebuah sistem yang memiliki tiga subsistem, yaitu:[5]
1.      Subsistem budaya
Sistem budaya berisi nilai-nilai, norma, pengetahuan dan kepercayaan atau keyakinan hidup yang dianut bersama.
2.      Subsistem sosial
Dalam sistem sosial terdapat struktur peran, yaitu perilaku yang diharapkan akan dilakukan seseorang sesuai dengan status sosialnya.
3.      Subsistem kepribadian
Dalam sistem kepribadian, individu memiliki keperluan atau kebutuhan yang lahir atau dibentuk pada saat berlangsungnya proses sosialisasi bagi dirinya.
Kehidupan masyarakat sebagai sebuah sistem terdiri atas berbagai pranata sosial. Pendidikan sebagai pranata sosial dan kurikulum sebagai alatnya harus dapat dikembangkan dan disesuaikan dengan berbagai kehidupan masyarakat. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara tingkat pendidikan dengan kehidupan ekonomi.
Implikasi kemasyarakatan dalam pengembangan kurikulum antara lain, yaitu:[6]
1.      Sekolah adalah suatu institusi sosial yang didirikan dan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum sebaiknya mempertimbangkan segi sosiologis ini, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun perbaikan kurikulum.
2.      Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang meliputi berbagai komponen, yakni subsistem kepercayaan, nila-nilai, kebutuhan, dan permintaan. Masing-masing komponen atau subsistem tersebut berpengaruh terhadap penyusunan dan pengembangan kurikulum, sehingga relevan dengan kondisi sosiologis masyarakat.
Di dalam masyarakat terdapat beragam lembaga sosial yang masing-masing memiliki kekuatan, baik kekuatan potensial, strategis, dan riil. Semua kekuatan tersebut memberi pengaruh dan patut dipertimbangkan dalam pembinaan dan pengembangan kurikulum, sehingga kurikulum sejalan dengan sifat dinamis dalam masyarakat.

2.4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya.
            Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.
            Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.
Perkembangan IPTEK, secara langsung menjadi isi atau materi pendidikan. Sedangkan secara tidak langsung memberikan tugas kepada pendidikan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan pemecahan masalah-masalah pendidikan sebagai pengaruh dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
            Implikasi ilmu pengetahuan dan teknologi adalah pengembangan kurikulum harus dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berfikir peserta didik untuk lebih banyak menghasilkan teknologi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan karakteristik masyarakat Indonesia. Pengembangan kurikulum harus difokuskan pada kemampuan peserta didik untuk mengenali dan merevitalisasi produk teknologi yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.[7]



DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. D. (2011). Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: Rosdakarya.
Hamalik, P. D. (2009). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Dipetik Maret 18, 2013, dari http://blog.tp.ac.id/memahami-landasan-pengembangan-kurikulum
 Dipetik Maret 18, 2013, dari http://rhezavlova.blogspot.com/2012/05/pengertian-dan-landasan-kurikulum.html
Dipetik Maret 18, 2013, dari http://sadidadalila.wordpress.com/2010/11/30/pengertian-kurikulum-sistem-landasan-dan-prinsip-pengembangannya/





[1] Hamalik, Prof. Dr. H. Oemar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), hlm. 60
[2] Hamalik, Prof. Dr. H. Oemar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), hlm. 62
[3] Arifin, M.Pd., Drs. Zainal, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Rosdakarya), hlm. 56
[4] Arifin, M.Pd., Drs. Zainal, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Rosdakarya), hlm. 66
[5] Arifin, M.Pd., Drs. Zainal, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Rosdakarya), hlm. 67
[6] Hamalik, Prof. Dr. H. Oemar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), hlm. 80
[7] Arifin, M.Pd., Drs. Zainal, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Rosdakarya), hlm. 78

Senin, 01 April 2013

Media Pembelajaran



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’, atau ‘pengantar’. Dalam bahasa Arab, media disebut wasail betuk jama’ dari wasilah yakni sinonim al-wasth yang artinya juga ‘tengah’. Kata ‘tengah’ itu sendiri berarti berada di antara dua sisi, maka disebut juga sebagai ‘perantara’ (wasilah) atau yang mengantarai kedua sisi tersebut. Karena posisinya berada di tengah ia bisa juga disebut sebagai pengantar atau penghubung, yakni yang mengantarkan atau menghubungkan atau menyalurkan sesuatu hal dari satu sisi ke sisi lain. Jadi, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan.[1] Berikut beberapa pendapat mengenai pengertian media:
1.      Gerlach dan Ely (1971) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar menganjar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau herbal.
2.      AECT (Association of Education and Communication Technology, 1977) memberi batasan tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau infiormasi.
3.      Di samping sebagai sistem penyampai atau pengantar, media yang sering diganti dengan kata mediator menurut Fleming adalah penyebab atau alat yang turut campur tangan dalam dua pihak dan mendamaikannya. Dengan istilah mediator, media menunjukkan fungsi atau perannya, yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar-siswa dan isi pelajaran. Di samping itu, mediator dapat pula mencerminkan pengertian bahwa setiap sistem pembelajaran yang melakukan peran mediasi, mulai dari guru sampai kepada peralatan paling canggih, dapat disebut media.
4.      Heinich, dan kawan-kawan (1982) mengemukakan istilah medium sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima. Jadi, seperti televisi, film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan cetakan, dan sejenisya adalah media komunikasi. Apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran.
5.      Hamidjojo dala Latuheru (1993) memberi batasan media sebagai semua bentuk perantara yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan atau menyetor ide, gagasan , atau pendapat, sehingga ide, gagasan atau pendapat yang dikemukakan itu sampai kepada penerima yang dituju.
6.      Gagne dan Brings (1975) secara implisit mengatakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi, materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape recorder, film, slide(gambar bingkai), foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer.
7.      Di pihak lain, National Education Association memberikan definisi media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio-visual dan peralatannya; dengan demikian, media dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, atau dibaca.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang media tersebut, secara umum media pembelajaran dapat didefinisikan sebagai komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung meteri instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar.[2] Sedangkan dari sumber lain mengatakan bahwa  media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif di mana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif.[3]
Dalam kegiatan belajar mengajar, sering pula pemakaian kata media pembelajaran digantikan dengan istilah-istilah seperti alat pandang-dengar, bahan pengajaran (instrusional material), komunikasi pandang-dengar (audio-visual communication), pendidikan alat peraga pandang (visual education), teknologi pendidikan  (educational technology), alat peraga dan media penjelas.[4]
2.2. Pentingnya Media Pembelajaran

Dengan adanya media pembelajaran maka tradisi lisan dan tulisan dalam proses pembelajaran dapat diperkaya dengan berbagai media pembelajaran. Dengan tersedianya media pembelajaran, guru pendidik dapat menciptakan berbagai situasi kelas, menentukan metode pengajaran yang akan dipakai dalam situasi yang berlainan dan menciptakan iklim yangemosional yang sehat diantara peserta didik. Bahkan alat/media pembelajaran ini selanjutnya dapat membantu guru membawa dunia luar ke dalam kelas. Dengan demikian ide yang abstrak dan asing (remote) sifatnya menjadi konkrit dan mudah dimengerti oleh peserta didik. Bila alat/media pembelajaran ini dapat di fungsikan secara tepat dan proforsional, maka proses pembelajaran akan dapat berjalan efektif.
Dalam pembelajaran, alat atau media pendidikan jelas diperlukan. Sebab alat/ media pembelajaran ini memiliki peranan yang besar dan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan.

2.3. Ciri-ciri Media Pembelajaran

Gerlach dan Ely (1971) mengemukakan tiga ciri media yang merupakan petunjuk mengapa media digunakan dan apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh media yang mungkin guru tidak mampu (atau kurang efisien ) melakukannya.
a.       Ciri Fiksatif (Fixative Property)
Ciri ini menggambarkan kemampuan media merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekonstuksi suatu peristiwa atau objek. Suatu peristiwa atau objek dapat diurut dan disusun kembali dengan media seperti fotografi, video tape, audio tape, disket komputer, dan film. Suatu objek yang telah diambil gambarnya (direkam) dengan kamera atau video kamera dengan mudah dapat direproduksi dengan mudah kapan saja diperlukan. Dengan ciri fiksatif ini, media memungkinkan suatu rekaman kejadian atau objek yang terjadi pada satu waktu tertentu ditransportasikan tanpa mengenal waktu.
Ciri ini amat penting bagi guru karena kejadian-kejadian atau objek yang telah direkam atau disimpan dengan format media yang ada dapat digunakan setiap saat. Peristiwa yang kejadiannya hanya sekali (dalam satu dekade atau satu abad) dapat diabadika dan disusun kembali untuk keperluan pembelajaran. Prosedur laboratorium yang rumit dapat direkam dan diatur untuk kemudian direproduksi berapa kali pun pada saat diperlukan. Demikian pula kegiatan siswa dapat direkam dan direkam untuk kemudian dianalisis dan dikritik oleh siswa sejawat baik secara perorangan maupun secara kelompok.
b.      Ciri Manipulatif (Manipulative Property)
Transformasi suatu kejadian atau objek dimungkinkan karena media memiliki ciri manipulatif. Kejadian yang memakan waktu berhari-hari dapat disajikan kepada siswa dalam waktu dua atau tiga menit dengan teknik pengambilan gambar time-lapse recording. Misalnya, bagaimana proses larva menjadi kepompong kemudian menjadi kupu-kupu dapat dipercepat dengan teknik rekaman fotografi tersebut. Di samping dapat dipercepat, suatu kejadian dapat pula diperlambat pada saat menayangkan kembali hasil suatu rekaman video. Kemampuan media dari ciri manipulatif memerlukan perhatian sungguh-sungguh  karena apabial terjadi kesalahan dalam pengaturan kembali urutan kejadian atau pemotongan bagian-bagian yang salah, maka akan terjadi pula kesalahan penafsiran yang tentu saja akan membingungkan dan bahkan menyesatkan sehingga dapat mengubah sikap mereka ke arah yang tidak diinginkan.
c.       Ciri Distributif (Distributive Property)
Ciri distributif dari media memungkinkan suatu objek atau kejadian ditransportasikan melalui ruang, dan secara bersamaan kejadian tersebut disajikan kepada sejumlah besar siswa dengan stimulus pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian itu. Dewasa ini, distribusi media tidak hanya terbatas pada satu kelas atau beberapa kelas pada sekolah-sekolah di dalam suatu wilayah tertentu, tetapi juga media itu dapat disebar ke seluruh penjuru tempat yang diinginkan kapan saja.
Sekali informasi direkam dalam format media apa saja, ia dapat direproduksi seberapa kali pun dan siap digunakan secara bersamaan di berbagai tempat atau digunakan secara berulang-ulang di suatu tempat. Konsistensi informasi yang telah direkam akan terjamin sama atau hampir sama dengan aslinya.
Sedangkan dikemukakan ciri-ciri umum adalah sebagai berikut:
1.    Media pendidikan memiliki pengertian fisik yang dewasa ini dikenal sebagai hardware (perangkat keras), yaitu sesuatu benda yang dapat dilihat, didengar, atau diraba dengan pancaindera.
2.    Media pendidikan memiliki pengertian nonfisik yang dikenal sebagai software (perangkat lunak), yaitu kandungan pesan yang terdapat dalam perangkat keras yang merupakan isiyang ingin disampaikan kepada siswa.
3.    Penekanan media pendidikan terdapat pada visual dan audio.
4.    Media pendidikan memiliki pengertian alat bantu pada proses belajar baik di dalam maupun di luar kelas.
5.    Media pendidikan digunakan dalam rangka komunikasi dan interaksi guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
6.    Media pendidikan dapat digunakan secara missal (misalnya: radio, televisi), kelompok besar dan kelompok kecil (misalnya film, slide, video, OHP), atau perorangan (misalnya: modul, computer, radio tape/kaset, video recorder).
7.    Sikap, perbuatan, organisasi, strategi, dan manajemen yang berhubungan dengan penerapan suatu ilmu.






DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Azhar. Media Pembelajaran. (Cetakan ke-15). 2011. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Hamalik, Oemar. Media Pendidikan. (Cetakan ke-7). 1994. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti
Munadi, Yudhi. Media Pembelajaran. (Cetakan ke-4). 2012. Jakarta: Gaung Persada
Sadiman, Arief. Media Pendidikan. 2008. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada


[1] Arsyad, Azhar, Media Pembelajaran, 2011,  (Jakarta: PT. Raja Grafindo) hlm. 3
[2] Arsyad, Azhar, Media Pembelajaran, 2011,  (Jakarta: PT. Raja Grafindo), hlm. 4

[3] Munadi, Yudhi, Media Pembelajaran, 2012, (Jakarta: Gaung Persada), hlm. 7
[4] Arsyad, Azhar, Media Pembelajaran, 2011,  (Jakarta: PT. Raja Grafindo), hlm. 6