TEORI KEBUTUHAN ABRAHAM MASLOW
Teori Abraham Maslow tentang
motivasi manusia dapat diterapkan pada hampir seluruh aspek kehidupan pribadi
serta kehidupan sosial.[1] Individu
merupakan keseluruhan yang padu dan teratur. “Manusia dimotivasikan oleh
sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk setiap spesies, tidak
berubah, dan berasal dari sumber genetis atau naluriah”. Ini merupakan
konsep fundamental unik dari pendirian teoritis Maslow. Kebutuhan-kebutuhan itu
juga bersifat psikologis, bukan semata-mata fisiologis. Kebutuhan-kebutuhan itu
merupakan kodrat manusia, hanya saja mereka itu lemah, mudah diselewengkan dan
dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan atau tradisi yang keliru.
Kata Maslow, “Kebutuhan-kebutuhan
itu merupakan aspek-aspek intrinsik kodrat manusia yang tidak dimatikan oleh
kebudayaan, hanya ditindas.” Pandangan ini menantang keyakinan lama dan cukup
tahan uji ini yang dianut oleh banyak orang bahwa naluri memiliki sifat kuat,
tidak bisa diubah dan jahat. Maslow justru mangajukan kebalikannya,
“Kebutuhan-kebutuhan dengan mudah dapat diabaikan atau ditekan dan tidak jahat,
melainkan netral atau justru baik.” Maslow melukiskan manusia sebagai makhluk
yang tidak pernah berada dalam keadaan sepenuhnya puas. Bagi manusia, kepuasan
itu sifatnya sementara. Jika suatu
kebutuhan telah terpuaskan, maka kebutuhan-kebutuhan yang lainnya akan muncul
menuntut pemuasan, begitu seterusnya.[2]
Suatu sifat dapat dipandang sebagai
kebutuhan dasar jika memenuhi syarat-syarat berikut:[3]
1. Ketidakhadirannya menimbulkan penyakit.
2. Kehadirannya mencegah timbulnya penyakit.
3. Pemulihannya menimbulkan penyakit.
4. Dalam situasi-situasi tertentu yang sangat kompleks dan dimana orang
bebas memilih, orang yang sedang berkekurangan ternyata mengutamakan kebutuhan
itu dibandingkan jenis-jenis kepuasaan lainnya.
5. Kebutuhan itu tidak aktif, lemah atau secara fungsional tidak
terdapat pada orang yang sehat.
Maslow mengajukan gagasan bahwa kebutuhan
pada manusia adalah bawaan, tersusun menurut tingkatan atau bertingkat. Oleh
Maslow, kebutuhan manusia dirinci ke dalam tujuh tingkat kebutuhan, yaitu:
a.
Kebutuhan Dasar Fisiologis
Yang paling dasar, paling kuat dan
paling jelas di antara seluruh kebutuhan manusia adalah kebutuhannya untuk
mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhannya akan makanan, minuman,
tempat berteduh, seks, tidur, dan oksigen. Seseorang yang mengalami kekurangan
makanan, harga diri, dan cinta pertama-tama akan memburu makanan terlebih dulu.
Ia akan mengabaikan atau menekan dulu semua kebutuhan lain sampai kebutuhan
fisiologisnya itu terpuaskan. Bagi orang yang berada dalam keadaan lapar berat
dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali pada makanan. Ia teringat tentang
makanan, ia berpikir tentang makanan, emosinya tergerak hanya pada makanan, ia
hanya mempersiapkan makanan dan ia hanya menginginkan makanan.
Maslow menyatakan bahwa dapat saja,
meski mungkin tidak terlalu bermanfaat, menyusun daftar panjang tentang
kebutuhan fisiologis, tergantung seberapa rinci orang ingin membuatnya. Orang
dapat menunjukkan misalnya, betapa aneka kenikmatan sensoris seperti berbagai
jenis cita rasa, bau-bauan, sentuhan, dan sebagainya, dapat digolongkan sebagai
kebutuhan-kebutuhan fisiologis yang mempengaruhi tingkah laku. Selanjutnya,
kendatipun kebutuhan-kebutuhan fisiologis ini dapat dipilah-pilah dan
diidentifikasikan secara lebih mudah dibandingkan kebutuhan-kebutuhan lain yang
lebih tinggi, namun kebutuhan-kebutuhan tersebut tetap tidak dapat diperlakukan
sebagai fenomena yang terpisah-pisah, yang berdiri sendiri-sendiri.
b.
Kebutuhan akan Rasa Aman
Setelah kebutuhan-kebutuhan
fisiologis terpuaskan secukupnya, muncullah kebutuhan akan rasa aman. Yang
dimaksud Maslow dengan kebutuhan akan rasa aman ini adalah kebutuhan yang
mendorong individu untuk memperoleh ketentraman, kepastian, dan keraturan dari
keadaan lingkungannya.[4]
Sebagai contoh, seorang anak mengalami kecelakaan. Lalu, akibat dari kecelakaan
ini si anak memiliki rasa takut terhadap banyak hal, sehingga menyebakan si
anak memiliki keinginan yang kuat untuk dilindungi dan diperhatikan.
Indikasi lain dari kebutuhan akan
rasa aman pada anak-anak adalah ketergantungan. Menurut Maslow, anak-anak akan
memeperoleh rasa aman yang cukup apabila mereka berada dalam ikatan dengan
keluarganya. Jika ikatan ini tidak ada atau lemah, maka si anak akan merasa
kurang aman, cemas, dan kurang percaya diri, lalu akan mendorong si anak untuk
mencari area-area hidup dimana dia bisa memperoleh ketentraman dan rasa aman.
Pada orang-orang dewasa pun
kebutuhan akan rasa aman itu nampak dan berpengaruh secara aktif. Usaha-usaha
untuk memperoleh perlindungan dan keselamatan kerja, membayar asuransi,
merupakan contoh-contoh dari tingkah laku yang mencerminkan kebutuhan akan rasa
aman. Pengekspresian lain dari kebutuhan akan rasa aman ini bisa muncul apabila
individu-individu dihadapkan kepada keadaan-keadaan gawat seperti perang,
gelombang kejahatan, kerusuhan, dan bencana alam. Dapat pula diamati pada
orang-orang dewasa yang mengalami gangguan neurotik[5].
Kebutuhan rasa aman dari orang-orang neurotik sering diekspresikan melalui
keinginan mencari pelindung atau orang-orang kuat yang bisa dijadikan tempat bergantung.
c.
Kebutuhan akan Kasih Sayang
Jika kebutuhan fisiologis dan
kebutuhan akan rasa aman telah terpenuhi, maka muncullah kebutuhan akan kasih
sayang, cinta, dan rasa memiliki-dimiliki. Kebutuhan akan kasih sayang dan
cinta adalah kebutuhan yang mendorong individu untuk mengadakan hubungan
afektif atau ikatan emosional dengan individu lain, baik dengan sesama jenis
maupun dengan yang berlainan jenis, di lingkungan keluarga maupun di lingkungan
kelompok di masyarakat. Kita memuaskan kebutuhan-kebutuhan kita akan cinta
dengan membangun suatu hubungan akrab dan penuh perhatian dengan orang lain
atau dengan orang-orang pada umunya, dan dalam hubungan-hubungan ini memberi
dan menerima cinta adalah sama penting.[6]
Cinta, sebagaimana kata itu
digunakan oleh Maslow, tidak boleh dikacaukan oleh seks, yang dapat dipandang
sebagai kebutuhan fisiologis semata-mata. Ia berkata, “Biasanya tingkah laku
seksual ditentukan oleh banyak kebutuhan, bukan hanya oleh kebutuhan seksual
melainkan juga oleh aneka kebutuhan lain, yang utama diantaranya adalah
kebutuhan akan cinta dan kebutuhan kasih sayang .” Maslow menyukai rumus Carl
Roger tentang cinta, yaitu “keadaan dimengerti secara mendalam, diterima dengan
sepenuh hati.” Dan Maslow dengan tegas menolak pendapat Freud bahwa cinta dan
afeksi itu berasal dari naluri seksual yang disublimasikan. Bagi Maslow, cinta
dan seks adalah dua hal yang sama sekali berbeda.
Bagi Maslow, cinta menyangkut suatu
hubungan sehat dan penuh kasih mesra antara dua orang, termasuk sikap saling
percaya. Dalam hubungan yang sejati tidak akan ada rasa takut, sedangkan
berbagai bentuk pertahanan pun akan runtuh. Seringkali menjadi rusak jika salah
satu pihak merasa takut kalau kelemahan-kelemahan serta kesalahan-kesalahannya
terungkap. Maslow mengatakan, “Kebutuhan akan cinta meliputi cinta yang memberi
dan yang menerima. Kita harus memahami cinta, kita harus mampu mengajarkannya.
Jika tidak, dunia ini akan hanyut ke dalam gelombang permusuhan dan kebencian.”
d.
Kebutuhan akan Penghargaan
Maslow menemukan bahwa setiap orang
memilih dua kategori kebutuhan akan penghargaan, yakni harga diri dan
penghargaan dari orang lain. Harga diri meliputi kebutuhan akan kepercayaan
diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan
kebebasan. Penghargaan dari orang lain meliputi prestise, pengakuan,
penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik serta penghargaan.[7]
Terpuaskannya kebutuhan akan rasa
harga diri pada individu akan menghasilkan sikap percaya diri, rasa berharga,
rasa kuat, rasa mampu, dan perasaan berguna. Sebaliknya, frustasi atau
terhambatnya pemuasan kebutuhan akan rasa harga diri akan menghasilkan sikap
rendah diri, rasa tak pantas, rasa lemah, rasa tak mampu, dan rasa tak berguna,
yang menyebabkan individu tersebut mengalami kehampaan, keraguan, dan
keputusasaan dalam menghadapi tuntutan-tuntutan hidupnya, serta memiliki
penilaian yang rendah atas dirinya sendiri dalam kaitannya dengan orang lain.
Maslow menegaskan bahwa rasa harga
diri yang sehat lebih didasarkan pada prestasi ketimbang prestise, status, atau
keturunan. Dengan kata lain, rasa harga diri individu yang sehat adalah hasil
usaha individu yang bersangkutan dan merupakan bahaya psikologis yang nyata
apabila seseorang lebih mengandalkan rasa harga dirinya ketimbang pada
kemampuan prestasi nyata dirinya sendiri.[8]
e.
Kebutuhan Ilmu Pengetahuan
Maslow berkeyakinan bahwa salah satu
ciri mental yang sehat ialah adanya rasa ingin tahu. Diakuinya, data ilmiah
ataupun klinis yang dengan jelas membuktikan kebutuhan in sebagai kebutuhan
dasar memang kurang memadai, lagi pula dalam karya para teoretikus terdahulu
seperti Freud, Adler, dan Jung, tidak dapat ditemukan uraian tentang persoalan
ini. Menurut Maslow, alasan-alasan untuk mengemukakan rasa ingin tahu sebagai
ciri pada seluruh spesies adalah sebagai berikut:
1.
Rasa
ingin tahu kerap kali tampak pada tingkah laku binatang.
2.
Sejarah
mengisahkan banyak contoh tentang orang-orang yang menantang bahaya besar untuk
berburu pengetahuan, misal, Galileo dan Columbus.
3.
Hasil-hasil
penelitian terhadap orang-orang yang masak secara psikologis menunjukkan bahwa
mereka itu tertarik pada hal-hal yang penuh rahasia, yang tak dikenal dan yang
tak dapat dijelaskan.
4.
Pengalaman
Maslow bekerja di bidang klinis memberinya kasus-kasus dimana orang-orang
dewasa yang sebelumnya sehat ternyata kemudian menderita kebosanan, kehilangan
gairah hidup, depresi dan menjadi benci pada dirinya sendiri. Gejala-gejala
semacam itu dapat dialami oleh orang-orang cerdas yang menjalani hidup ini
dengan melakukan pekerjan-pekerjaan yang konyol.
5.
Anak-anak
memiliki rasa ingin tahu yang bersifat alamiah.
6.
Pemenuhan
rasa ingin tahu ternyata secara subjektif juga memuaskan. Banyak orang
melaporkan bahwa belajar dan menemukan sesuatu menimbulkan rasa puas dan
bahagia.
f.
Kebutuhan Estetika
Ilmu behavioral mengabaikan
kemungkinan bahwa orang memiliki kebutuhan yang bersifat naluriah atau sejenis
naluri akan keindahan. Maslow menemukan bahwa paling tidak ada beberapa orang,
kebutuhan akan keindahan ini begitu mendalam, sedangkan hal-hal yang serba
jelek benar-benar membuat mereka muak. Hal ini diperkuat oleh hasil sebagian
penelitian awalnya terhadap kelompok mahasiswa tentang efek lingkungan yang
indah serta lingkungan yang jorok atas diri mereka. Penelitian itu menunjukkan
bahwa keburukan menimbulkan kejemuan serta melemahkan semangat.[9]
Maslow menemukan bahwa dalam arti biologis, sama seperti kebutuhan akan kalsium
dalam makanan, setiap orang membutuhkan keindahan. Keindahan membuat seseorang
lebih sehat.
Ia menunjukkan bahwa kebutuhan
estetik berhubungan dengan gambaran diri seseorang. Mereka yang tidak menjadi
lebih sehat oleh keindahan adalah orang-orang yang terbelenggu oleh gambaran
diri mereka yang rendah.[10]
Seseorang yang jorok akan merasa risih berada di sebuah restoran yang mewah
serba merasa bahwa dirinya tidak layak.
Maslow juga mengamati bahwa
kebutuhan akan keindahan ini terdapat pada anak-anak yang sehat hampir dimana
pun. Ia berpendapat bahwa fakta tentang dorongan ke arah kebutuhan akan
keindahan ini dapat ditemukan dlam setiap peradaban dan dalam semua zaman, bahkan sejak zaman
manusia tinggal di gua-gua.
g.
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Aktualisasi
diri dapat didefinisikan sebagai perkembangan yang paling tinggi dan penggunaan
semua bakat kita, pemenuhan semua kualitas dan kapasitas kita.[11] Manusia
yang dapat mencapai tingkat aktualisasi diri ini menjadi manusia yang utuh, memperoleh
kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang orang lain. Setiap orang harus
berkembang sepenuh kemampuannya. Pemaparan tentang kebutuhan psikologis untuk
menumbuhkan, mengembangkan dan menggunakan kemampuan, oleh Maslow disebut
aktualisasi diri, merupakan salah satu aspek penting teorinya tentang motivasi
pada manusia. Maslow juga melukiskan kebutuhan ini sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh
kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya. Maslow menemukan
bahwa kebutuhan kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya muncul sesudah
kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan tepuaskan secara memadai.
Maslow membicarakan sejumlah sifat
khusus yang menggambarkan aktualisasi diri, yaitu:
1.
Mengamati
realitas secara efisien
2.
Penerimaan
umum atas kodrat, orang lain, dan diri sendiri
3.
Spontanitas,
kesederhanaan, dan kewajaran
4.
Fokus
pada masalah-masalah di luar diri
5.
Kebutuhan
akan privasi dan pemisahan diri
6.
Berfungsi
secara otonom
7.
Apresiasi
yang senantisa segar
8.
Pengalaman-pengalaman
mistik atau puncak
9.
Minat
sosial
10.
Hubungan
antarpribadi
11.
Struktur
watak demokratis
12.
Perbedaan
antara sarana dan tujuan
13.
Perasaan
humor yang tidak menimbulkan permusuhan
14.
Kreativitas
15.
Resistensi
terhadap inkulturasi
Anak butuh menguasai cara-cara yang
tepat untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya.[12]
Proses pendidikan yang benar harus diarahkan pada pertumbuhan dan perkembangan
anak, bukan hanya mengekang dan menjinakkannya demi meringankan beban orang
tua. Maslow mengatakan bahwa kita harus lebih banyak belajar tentang cara
menanamkan kekuatan, harga diri, sikap berani yang benar, dan sikap tidak
menyerah pada ketidakbenaran. Pendidikan, baik formal maupun non formal,
memainkan peranan penting dalam pengembangan watak.
Analisis
Sebagaimana telah kita ketahui,
pemimpin atau bapak humanistik adalah Abraham Maslow. Teori kebutuhan Maslow
dalam teori humanisme muncul berdasarkan konsep fundamentalnya mengenai
motivasi. Dan dalam kenyataannya, proses-proses tentang motivasi manusia
merupakan jantung dari teori Maslow.
Ada beberapa pernyataan bahwa Maslow
menolak pendapat para ahli seperti Freud. Hal ini bukanlah penolakan secara
mentah-mentah, melainkan lebih merupakan suatu usaha menelaah segi-segi yang
bermanfaat, bermakna, sehingga dapat diterapkan bagi kehidupan manusia.
Dalam pandangan Maslow, susunan
kebutuhan-kebutuhan dasar yang bertingkat
merupakan organisasi yang mendasari motivasi manusia. Dengan melihat
pada tingkat kebutuhan dan corak pemuasan kebutuhan pada diri individu, kita
bisa melihat kualitas perkembangan kepribadian individu tersebut. Semakin
individu itu mampu memuaskan kebutuhan-kebutuhannya yang tinggi, maka individu
itu akan semakin mampu mencapai individualitas, matang dan berjiwa sehat. Dan
sebaliknya, apabila individu belum mampu memuaskan kebutuhan-kebutuhannya
sampai tingkat tinggi, maka individu tersebut belum bisa mencapai
individualitas.
Aneka kebutuhan manusia itu saling
berhubungan. Misalnya, seseorang yang berpikir bahwa ia lapar secara nyata
mungkin juga merasakan kebutuhan akan rasa aman. Rasa aman tersebut dibutuhkan untuk
bisa mendapatkan makanan sebagai pemenuhan rasa laparnya. Dan dengan rasa aman
pula, seseorang bisa makan dengan suasana tenang. Jadi, pada hakikatnya
kebutuhan-kebutuhan manusia membentuk keterkaitan satu dengan yang lainnya.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran
matematika, teori kebutuhan Maslow dapat dihubungkan sebagai berikut:
1.
Kebutuhan
fisiologis
Dalam pembelajaran matematika,
dibutuhkan suatu pemikiran yang memerlukan konsentrasi mendalam, daya pikir
yang tepat, logis, dan cepat. Misalnya, dalam materi Konsentrasi penuh bisa
dicapai apabila kondisi dan fisik seseorang dalam keadaan yang sehat, bugar,
dan tidak sakit. Oleh karena itu, sebelum mengikuti pembelajaran matematika,
kebutuhan fisiologis siswa harus terpenuhi dahulu. Siswa yang sehat akan mampu
mengikuti pembelajaran dengan baik, sehingga materi yang disampaikan guru bisa
diterima dengan baik pula.
2.
Kebutuhan
akan rasa aman
Selain kondisi tubuh yang sehat, suasana
yang aman, tenang, dan tentram akan mampu meningkatkan konsentrasi. Sehingga
setelah kebutuhan fisiologis tercapai, selanjutnya diperlukan kebutuhan akan
rasa aman. Kondisi siswa sebaiknya tidak sedang dalam keadaan tertekan, karena
saat pembelajaran matematika siswa harus bisa fokus agar bisa menyerap apa yang
akan dipelajari. Dari pihak guru juga harus bisa menciptakan suasana nyaman dan
memberikan perlindungan untuk siswanya. Terkadang siswa memandang matematika
sebagai suatu hal yang menakutkan, sehingga disini guru sebaiknya
memperlihatkan pembelajaran yang menyenangkan.
3.
Kebutuhan
akan kasih sayang
Setelah rasa aman terpenuhi,
selanjutnya siswa memerlukan kasih sayang. Kasih sayang akan tercapai apabila
karakter siswa mampu dipahami dan dimengerti oleh guru. Jadi, seorang guru
harus bisa memahami, dan menyayangi siswanya tanpa membedakan satu dengan yang
lain. Dengan adanya perhatian dan pengertian dari guru, siswa akan memiliki
kepuasan belajar tersendiri dalam dirinya. Selain itu, motivasi belajar siswa
bisa terbangun karena adanya kasih sayang dari gurunya.
4.
Kebutuhan
akan penghargaan
Setiap orang butuh dihargai, begitu
pula siswa. Penghargaan dapat berupa sanjungan, pujian, maupun hadiah.
Misalnya, apabila selesai ulangan matematika, lalu guru menyampaikan hasil
ulangan tersebut pada siswanya. Dari hasil tersebut, seluruh siswa memperoleh
hasil yang baik diatas nilai minimal. Sehingga, guru memberikan pujian kepada
seluruh siswanya. Dengan adanya pujian dari guru, siswa akan merasa dihargai
atas jerih payahnya dalam belajar. Selain itu, siswa akan lebih termotivasi dan
percaya diri untuk melanjutkan pembelajaran.
5.
Kebutuhan
ilmu pengetahuan
Rasa ingin tahu secara alamiah pasti
ada dalam diri siswa. Dalam matematika, banyak sekali hal-hal yang tidak
diketahui oleh siswa. Misalnya, seorang guru menjelaskan mengenai rumus mencari
luas lingkaran, bahwa luas lingkaran
.
Lalu seorang siswa ada yang bertanya tentang “
.
Hal itu membuktikan bahwa siswa tersebut butuh pengetahuan, sehingga guru pun
harus bisa menjelaskan kepada siswa agar siswa merasa puas dan rasa ingin
tahunya bisa terjawab.
6.
Kebutuhan
keindahan atau estetika
Keindahan menjadi salah satu faktor
yang harus diperlukan saat melakukan pembelajaran. Siswa membutuhkan suasana
yang bersih, rapi, dan indah supaya pikiran menjadi lebih jernih sehingga
materi-materi matematika yang kebanyakan mengandung rumus bisa dengan mudah
dipahami oleh siswa. Selain itu, bagi guru juga harus mencerminkan penampilan
yang rapi, bersih, dan indah agar siswa lebih fokus saat pembelajaran
berlangsung.
7.
Kebutuhan aktualisasi diri
Aktualisasi diri merupakan kebutuhan
tertinggi. Siswa butuh untuk menampilkan potensi yang dimiliki menjadi suatu
kenyataan. Guru sebaiknya selalu merangsang siswa agar bisa mencapainya. Misalnya,
dalam pembelajaran matematika, guru memberikan soal-soal matematika dan bagi
siswa yang ingin mengerjakannya diperkenankan untuk maju ke depan. Dari situ,
siswa bisa menuangkan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga
pengaktualisasian diri siswa mampu terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA
Cervone, Daniel dan Lawrence A. Pervin. 2011. Kepribadian (Teori
dan Pendirian). Jakarta: Salemba Humanika
Goble, Frank G.
1987. Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Kanisius
Koeswara, E. Teori-teori
Kepribadian. 1991. Bandung: PT
Eresco
Schultz, Duane.
1991. Psikologi Pertumbuhan Model-model Kepribadian Sehat. Yogyakarta:
Kanisius
http://princesspicko.blogspot.com/2011/10/gangguan-neurotik.html diakses pada hari Rabu, 16 Januari 2013, pukul 17.23 WIB
[1] Goble, Frank
G., Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta:
Kanisius, 1987), hlm. 69.
[2] Koeswara, E., Teori-teori Kepribadian,
( Bandung: PT Eresco, 1991), hlm. 118.
[3] Goble, Frank
G., Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta:
Kanisius, 1987), hlm. 70.
[4] Koeswara, E., Teori-teori Kepribadian,
( Bandung: PT Eresco, 1991), hlm. 121.
[5] Reaksi
defensif atau ketakutan bersyarat tetap untuk melindungi dirinya sendiri dari
stres yang menimbulkan kecemasan, dengan melakukan salah-pindah kecemasan itu
dari bahaya yang sebenarnya ke suatu aspeknya yang berhubungan secara simbolik
yang kemudian melindungi penderitaan terhadap keharusan menghadapi keadaan
stres itu sendiri.
[6] Schultz,
Duane, Psikologi Pertumbuhan Model-model Kepribadian Sehat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1991), hlm. 92.
[7] Goble, Frank G., Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham
Maslow, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 76.
[8] Koeswara, E., Teori-teori Kepribadian,
( Bandung: PT Eresco, 1991), hlm. 125.
[9] Goble, Frank G., Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham
Maslow, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 79.
[10] Goble, Frank
G., Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta:
Kanisius, 1987), hlm. 79.
[11] Schultz, Duane, Psikologi Pertumbuhan Model-model Kepribadian
Sehat, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 93.
[12] Goble, Frank G., Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham
Maslow, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar